Di sudut barat Ethiopia, sebuah kawasan kecil yang kaya emas dan sejarah panjang peradaban Islam terus memperjuangkan nasibnya. Wilayah itu bernama Benishangul, dahulu merupakan sebuah kesultanan merdeka yang memiliki hubungan erat dengan Sudan dan peradaban-peradaban Muslim di sepanjang Sungai Nil. Namun, sejak akhir abad ke-19, Benishangul kehilangan kemerdekaannya di bawah kekuasaan Ethiopia. Hingga kini, hasrat untuk kembali berdiri sebagai entitas politik yang berdaulat masih hidup di hati sebagian masyarakatnya.
Pada masa lalu, kawasan Benishangul dikenal sebagai tanah subur di pinggiran Sungai Abay atau Nil Biru, dihuni oleh berbagai komunitas Muslim yang membentuk beberapa kesultanan kecil seperti Asosa, Bambasi, dan Gubba. Kesultanan-kesultanan ini berdiri sebagai pusat perdagangan penting antara Sudan, wilayah Ethiopia, dan Mesir. Emas menjadi komoditas utama, selain rempah dan hasil hutan. Sebagian besar wilayah ini dipengaruhi budaya Arab dan Islam, yang menyebar melalui jalur perdagangan dan hubungan keagamaan.
Masuk ke abad ke-19, gelombang kekacauan mulai mengguncang kawasan itu ketika Sudan didera pemberontakan besar yang dikenal sebagai Mahdi Uprising. Perlawanan yang dipimpin Muhammad Ahmad Al-Mahdi melawan penjajah Inggris dibantu oleh beberapa elemen dari Mesir dan Sudan yang saat itu masih wilayah Kekaisaran Turki Utsmani, secara tidak langsung memengaruhi stabilitas di Benishangul. Wilayah ini menjadi jalur logistik sekaligus tempat berlindung bagi kelompok-kelompok bersenjata dari Sudan.
Ketegangan regional makin memuncak ketika Abdallahi ibn Muhammad, penerus Muhammad Ahmad, menyadari bahwa kawasan Benishangul bisa menjadi sasaran Inggris dalam ekspansi kolonial mereka ke kawasan Sungai Nil. Dalam upaya menghalau ancaman tersebut, Abdallahi mengajak koalisi Kekaisaran Ethiopia di bawah Menelik II untuk mempertahankan Benishangul sebelum Inggris sempat mencaploknya. Menelik II menyambut permintaan itu sebagai peluang memperluas wilayah kekuasaan.
Pada akhir 1800-an, pasukan Ethiopia melakukan ekspansi ke barat dan secara bertahap menaklukkan kesultanan-kesultanan kecil di Benishangul dan Gubba. Pada tahun 1898, wilayah ini resmi dianeksasi ke dalam Kekaisaran Ethiopia. Kota Asosa, salah satu pusat perdagangan penting di wilayah itu, ditetapkan sebagai ibu kota politik dan ekonomi Benishangul di bawah otoritas Ethiopia. Sejak saat itu, perlahan otonomi lokal dihapus.
Meski ditaklukkan secara politik, identitas dan budaya masyarakat Benishangul tidak pernah sepenuhnya hilang. Masyarakat Muslim di kawasan ini tetap mempertahankan bahasa Arab lokal, adat istiadat Islam, serta sistem kepemimpinan tradisional di bawah para pemuka agama dan bangsawan keturunan sultan. Namun, pengaruh pemerintah pusat Ethiopia terus membatasi ruang gerak politik dan budaya mereka.
Selama beberapa dekade setelah aneksasi, wilayah Benishangul kerap mengalami ketegangan dengan pemerintah pusat. Pemerintahan Ethiopia yang didominasi kelompok etnis dataran tinggi seperti Amhara dan Tigray kerap dipandang sebagai kekuatan asing oleh komunitas Benishangul yang berbeda secara budaya dan agama. Kebijakan sentralisasi dan kontrol sumber daya emas di kawasan itu memperparah ketegangan.
Pada era modern, upaya masyarakat Benishangul untuk meraih kembali otonomi kian menguat. Sejumlah kelompok lokal mendesak agar pemerintah Ethiopia mengakui status khusus atau bahkan kemerdekaan bagi wilayah tersebut. Aspirasi ini semakin keras terdengar sejak Ethiopia mengalami krisis politik etnis pasca runtuhnya kekuasaan Derg dan bergantinya sistem pemerintahan ke federalisme etnis pada 1990-an.
Benishangul-Gumuz akhirnya ditetapkan sebagai salah satu wilayah administratif federal di Ethiopia. Meski di atas kertas memiliki hak otonomi, dalam praktiknya pemerintah pusat masih memiliki kontrol kuat terhadap wilayah itu, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan keamanan. Banyak elite lokal menganggap sistem federalisme Ethiopia belum benar-benar memberi ruang kebebasan bagi wilayah mereka.
Selama dua dekade terakhir, kelompok-kelompok perlawanan kecil muncul di Benishangul, meski sering kali tertutupi oleh konflik yang lebih besar di wilayah Tigray dan Oromia. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan diaspora Benishangul di Sudan aktif menyerukan pembentukan negara merdeka yang berdiri di atas sisa-sisa kesultanan lama mereka.
Di sisi lain, pemerintah Ethiopia tetap memandang Benishangul sebagai bagian tak terpisahkan dari negara. Apalagi kawasan itu memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi lokasi proyek Bendungan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) yang dibangun di Sungai Nil Biru. Proyek raksasa ini membuat kontrol atas Benishangul makin diperketat, sebab kawasan itu menjadi kawasan vital bagi proyek nasional Ethiopia.
Ketegangan makin terasa dalam beberapa tahun terakhir ketika sejumlah laporan menyebut adanya kekerasan etnis dan operasi militer di kawasan itu. Bentrokan antara milisi lokal dengan pasukan pemerintah maupun antar-komunitas sering terjadi, memperlihatkan rapuhnya stabilitas di wilayah tersebut. Hal ini diperburuk oleh keterlibatan kekuatan asing seperti Sudan, yang memiliki ikatan sejarah dan etnis dengan masyarakat Benishangul.
Meski dunia internasional lebih banyak menyoroti konflik di Tigray, isu Benishangul perlahan mulai mencuat di kalangan pemerhati geopolitik Afrika. Beberapa lembaga HAM internasional mulai mengangkat soal pelanggaran hak asasi dan marginalisasi etnis Benishangul di Ethiopia. Namun hingga kini, belum ada tekanan internasional signifikan kepada pemerintah Ethiopia terkait nasib kawasan itu.
Sejumlah tokoh adat dan keturunan sultan Benishangul di diaspora Sudan dan negara-negara Teluk juga mulai aktif memperjuangkan diplomasi informal. Mereka berharap bisa membangun kembali identitas politik Benishangul di tengah arus politik modern Afrika yang mulai terbuka terhadap isu-isu hak minoritas dan otonomi daerah.
Kisah Benishangul menunjukkan bagaimana wilayah-wilayah kecil dengan sejarah kerajaan lama sering kali terpinggirkan dalam negara modern yang dibangun di atas kekuasaan sentral. Meski demikian, identitas kultural dan semangat perlawanan terhadap dominasi luar terus diwariskan lintas generasi, menjaga bara perjuangan tetap menyala.
Hingga kini, harapan masyarakat Benishangul untuk kembali mengatur nasibnya sendiri belum sirna. Mereka tetap menggantungkan cita-cita di tengah pusaran konflik etnis di Ethiopia, ketegangan geopolitik Sungai Nil, dan ketatnya pengawasan pemerintah pusat atas kawasan-kawasan kaya sumber daya. Benishangul tetap menunggu waktu yang tepat untuk merebut kembali panggung sejarahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.