Belajar dari Sejarah Dualisme Pemerintahan


Libya saat ini tengah berada dalam posisi pelik, di mana dua pemerintahan berdiri di atas satu negara dengan kekuasaan yang terbagi tidak merata. Di Tripoli, pemerintahan yang diakui PBB dan negara Barat berkuasa secara administratif dan simbolik, sementara di Benghazi, pemerintahan saingan yang dipimpin House of Representatives bersama milisi Khalifa Haftar mengendalikan wilayah timur yang kaya minyak. Kondisi ini menciptakan situasi ekonomi dan politik yang rapuh, dengan ancaman perpecahan selalu mengintai di setiap keputusan penting.

Fenomena dua pemerintahan di satu wilayah bukan hal baru dalam sejarah politik dunia. Pada abad ke-18, di India era kolonial Inggris, dikenal sistem Dual Government di Bengal antara 1765 hingga 1772. Ketika itu, East India Company memegang kekuasaan penuh atas pemungutan pajak (Diwani), sementara Nawab Bengal hanya bertugas menjaga ketertiban dan hukum (Nizamat). Pengaturan ini memungkinkan Inggris menikmati hasil ekonomi tanpa harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, yang berujung pada bencana kelaparan dan kekacauan administratif.

Sejarah Nusantara pun mengenal model serupa di Kesultanan Barus, Sumatra. Selama dua abad, Barus diperintah oleh dua keluarga bangsawan, yaitu pihak Hilir dan Hulu. Kedua dinasti ini bergantian atau saling mengungguli satu sama lain dalam mengelola kekuasaan atas Barus. Meski kerap diwarnai ketegangan dan perebutan pengaruh, sistem ini nyatanya berhasil menjaga eksistensi Barus di tengah gempuran kerajaan-kerajaan lain dan persaingan dagang internasional.

Dari ketiga contoh itu, dapat ditarik pelajaran bahwa dualisme pemerintahan memiliki sisi positif dan negatif yang sangat tergantung pada pola pengelolaan kekuasaan serta kemauan politik elite-elite di dalamnya. Positifnya, dualisme dapat menciptakan keseimbangan kekuatan yang mencegah lahirnya kediktatoran mutlak. Ia juga bisa menjadi jalan kompromi politik di tengah situasi konflik yang belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Namun di sisi lain, dualisme sering kali melahirkan ketidakjelasan kebijakan, birokrasi yang tumpang tindih, serta rawan dijadikan alat perebutan dana dan pengaruh oleh elit-elit politik. Seperti di Bengal, ketidakseimbangan kontrol menyebabkan kehancuran ekonomi rakyat. Begitu pula di Libya, tarik-menarik pengelolaan dana minyak yang disimpan di Bank Sentral Tripoli memicu ketegangan dengan Benghazi yang merasa wilayah produksinya tidak mendapatkan pembagian adil.

Libya saat ini menghadapi dilema serupa. Pemerintahan di Tripoli mengklaim legitimasi internasional, sementara Benghazi menguasai ladang-ladang minyak utama yang menopang ekonomi negara. Perebutan kendali atas bank sentral dan dana hasil ekspor minyak menjadi inti konflik, dengan masing-masing pihak khawatir jika lawan politiknya menguasai penuh sumber daya ekonomi.

Belajar dari Barus, model dua pemerintahan bisa dipertahankan dengan syarat adanya aturan rotasi atau pembagian kewenangan yang jelas dan disepakati kedua belah pihak. Di Barus, meski dua dinasti kerap bersaing, mereka tetap menjaga aturan main yang mencegah salah satu pihak menguasai penuh istana dalam waktu lama. Mekanisme seperti ini bisa dipertimbangkan di Libya agar konflik tidak terus membara.

Libya juga bisa mencermati kegagalan Bengal, di mana satu pihak memegang kendali ekonomi sementara pihak lain hanya simbolik. Jika Tripoli terus memonopoli distribusi pendapatan minyak tanpa kesepakatan transparan dengan Benghazi, ketegangan politik pasti berlanjut dan ekonomi Libya sulit stabil. Transparansi pembagian hasil dan pembentukan lembaga bersama seperti dewan pengelola pendapatan bisa menjadi solusi.

Bahaya terbesar dari dualisme pemerintahan adalah potensi negara pecah secara de facto. Jika konflik Libya dibiarkan tanpa kerangka penyatuan, bisa saja Cyrenaica di timur dan Tripolitania di barat berkembang menjadi dua negara berbeda, seperti yang terjadi di Korea atau situasi ambigu antara Tiongkok dan Taiwan. Libya perlu belajar dari sejarah bahwa membelah negara hanya akan menambah luka berkepanjangan.

Di sisi lain, pengalaman Barus menunjukkan dualisme bisa dipertahankan asal kedua belah pihak menyadari bahwa kelangsungan negara lebih penting daripada ambisi kelompok. Ketegangan politik dapat dikelola melalui pembagian peran dan rotasi kekuasaan dengan tetap menjaga integritas wilayah dan kerangka hukum bersama. Kuncinya ada di kemauan elite untuk duduk bersama merumuskan aturan main jangka panjang.

Libya pun harus menghindari jebakan seperti Bengal, di mana ketimpangan kontrol justru mempercepat keruntuhan. Jika dua pemerintahan Libya tidak segera menyepakati kerangka kerja keuangan, ekonomi rakyat akan menjadi korban pertama. Kegagalan membayar gaji pegawai negeri, layanan kesehatan, dan subsidi bahan pokok akan memicu gelombang protes sosial yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Upaya terbaru menunjuk gubernur bank sentral bersama patut diapresiasi sebagai langkah awal. Namun, kesepakatan ini harus dilanjutkan dengan pembentukan dewan bersama pengelola hasil minyak dan mekanisme audit terbuka. Pembagian anggaran dan proyek pembangunan harus didesain adil untuk seluruh wilayah tanpa diskriminasi politik.

Libya bisa pula mengambil pelajaran dari masa depan Barus, yang pada akhirnya mengalami kemunduran setelah kedua dinasti gagal mempertahankan kompromi kekuasaan. Ketika satu dinasti mulai memonopoli pengaruh, konflik tak terelakkan dan Barus kehilangan peran strategisnya di jalur perdagangan internasional.

Situasi Libya yang kaya minyak sekaligus rawan konflik menjadikannya negara yang paling membutuhkan rekonsiliasi elite. Kedua belah pihak harus menyadari bahwa perebutan dana dan pengaruh semata hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat serta menghambat pembangunan pasca-perang yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.

Jika Libya mampu menyusun mekanisme dualisme kekuasaan berbasis kesepakatan adil, transparan, dan rotasi wewenang, bukan tidak mungkin negara ini bisa menjadi contoh negara pasca-konflik yang berhasil keluar dari jerat perang saudara. Sejarah menunjukkan dualisme bukan akhir, tapi bisa menjadi jembatan menuju rekonsiliasi nasional.

Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.