Kamp Palestina Urbanized: Dari Tenda ke Apartemen Sewa

Kamp-kamp Palestina di Suriah dan Lebanon telah menempuh perjalanan panjang dari tenda darurat menjadi kawasan urban yang kompleks. Fenomena ini mencerminkan kemampuan pengungsi dalam menyesuaikan diri dengan kondisi jangka panjang. Dari sekadar hunian sementara, kini beberapa kamp memiliki apartemen yang disewakan, toko, bahkan hotel kecil yang melayani pengunjung.

Yarmuk di Damaskus menjadi contoh paling terkenal di Suriah. Didirikan pada 1957–1960-an, kamp ini awalnya menampung pengungsi Palestina yang melarikan diri dari konflik Arab-Israel. Seiring waktu, keluarga Palestina membangun rumah permanen dari beton bertingkat, beberapa di antaranya dijadikan apartemen untuk disewakan.

Transformasi ini bukan hanya sekadar kebutuhan hunian. Warga menyadari bahwa sewa-menyewa apartemen dapat menjadi sumber penghasilan tambahan. Banyak keluarga yang tetap tinggal di lantai bawah rumah mereka, sementara lantai atas disewakan untuk tetangga atau kerabat yang datang dari luar kota.

Selain apartemen, di beberapa kamp di Lebanon, seperti Shatila dan Bourj el-Barajneh, muncul hotel dan penginapan kecil. Fasilitas ini biasanya dikelola oleh warga kamp untuk melayani diaspora Palestina atau kerabat yang datang berkunjung, sekaligus menjadi bagian dari ekonomi internal kamp.

Pasar lokal juga menjadi bagian integral dari urbanisasi kamp. Toko kelontong, roti, warung makanan, bahkan kios pakaian berkembang di sepanjang jalan utama kamp. Aktivitas ini membentuk ekonomi mikro internal yang menopang kehidupan sehari-hari warga.

Fenomena ini menunjukkan kemampuan adaptasi ekonomi yang tinggi. Di tengah keterbatasan hak sipil, terutama di Lebanon, warga kamp Palestina memanfaatkan properti yang mereka miliki untuk menciptakan mata pencaharian. Sewa-menyewa apartemen dan penginapan menjadi salah satu cara bertahan hidup jangka panjang.

Sebelum perang Suriah, Yarmuk tidak hanya menjadi pusat hunian, tetapi juga pusat budaya dan sosial. Masjid, sekolah, dan fasilitas olahraga berdiri berdampingan dengan rumah-rumah bertingkat. Kehidupan sosial yang padat memfasilitasi munculnya aktivitas ekonomi seperti jasa potong rambut, jahit, dan penjualan makanan.

Di Lebanon, kamp seperti Ein el-Hilweh memiliki struktur politik internal. Faksi-faksi Palestina mengawasi kawasan tertentu, dan ini memengaruhi bagaimana aktivitas ekonomi diatur. Meski demikian, praktik sewa-menyewa dan usaha kecil tetap berkembang, membentuk kehidupan urban yang unik.

Urbanisasi ini juga tercermin dalam infrastruktur. Jalan-jalan yang dulunya tanah lapang kini beraspal, listrik dan air tersedia sebagian besar hari, dan jaringan toko-toko kecil memudahkan akses kebutuhan dasar. Semua itu menjadikan kamp lebih menyerupai kota kecil daripada pengungsian sementara.

Fenomena apartemen sewa menandai pergeseran psikologis bagi warga. Mereka tidak lagi melihat kamp sebagai tempat transit, tetapi sebagai rumah permanen, sekaligus peluang ekonomi yang bisa dimanfaatkan.

Hotel kecil dan penginapan juga menjadi simbol urbanisasi. Fasilitas ini memperlihatkan bahwa kamp bisa menyerap pengunjung dari luar, baik diaspora maupun keluarga, sehingga menciptakan interaksi ekonomi dan sosial baru di dalam kamp.

Seiring waktu, generasi muda yang lahir di kamp ini juga berperan dalam ekonomi internal. Banyak anak muda membuka toko, belajar keterampilan perdagangan, atau membantu usaha keluarga, sehingga kamp tetap hidup dan dinamis.

Namun urbanisasi tidak berarti bebas dari keterbatasan. Di Lebanon, warga Palestina masih dibatasi hak kepemilikan tanah dan akses pekerjaan formal. Ini membuat sebagian besar ekonomi kamp tetap informal, bergantung pada modal sendiri dan solidaritas komunitas.

Di Suriah, konflik membawa tantangan baru. Perang menghancurkan beberapa kamp dan mengubah Yarmuk menjadi zona perang. Meski demikian, sebelum konflik, kamp Palestina sudah membentuk jaringan sosial-ekonomi yang kuat.

Kehadiran apartemen sewa dan hotel kecil mencerminkan adaptasi jangka panjang. Pengungsi belajar memanfaatkan aset yang ada untuk menciptakan stabilitas ekonomi, meski status mereka tetap terbatas secara hukum.

Fenomena ini juga menunjukkan perbedaan antara kamp pengungsi darurat dan kamp urbanized. Di Zaatari atau Al-Hol, warga bergantung sepenuhnya pada bantuan internasional, sedangkan di Yarmuk atau Shatila, warga telah mengembangkan ekonomi internal mandiri.

Kamp urbanized juga menjadi pusat budaya Palestina. Masjid, sekolah, toko, dan pasar membentuk komunitas yang mempertahankan identitas nasional meski berada jauh dari tanah air. Ini menjadi kekuatan sosial yang mendukung kegiatan ekonomi lokal.

Solidaritas internal warga kamp memperkuat sistem ekonomi informal. Bantuan antar keluarga, sistem barter, dan jaringan toko kecil menjadi tulang punggung ekonomi yang memungkinkan kamp tetap hidup meski tanpa dukungan negara secara penuh.

Transformasi dari tenda darurat menjadi apartemen, toko, dan hotel kecil juga menandai resiliensi warga Palestina. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan kondisi jangka panjang, membangun komunitas, dan tetap mempertahankan identitas nasional.

Kini, kamp Palestina urbanized menjadi contoh unik bagaimana pengungsi bisa mengubah status darurat menjadi permanen, sekaligus membangun ekonomi internal, sosial, dan budaya yang kompleks, meski dengan keterbatasan hukum dan tantangan politik.

Beberapa jenis kamp pengungsi

Jenis pengungsi di Suriah dan Irak cukup beragam karena konflik yang panjang, campur tangan banyak aktor, serta situasi sosial-politik yang berbeda di setiap wilayah. Jika dilihat dari pengelolaan dan bentuknya, secara garis besar bisa dibagi menjadi beberapa kategori:
---

1. Kamp resmi di bawah UNHCR dan lembaga kemanusiaan internasional

Contoh paling dikenal adalah kamp Zaatari di Yordania (untuk pengungsi Suriah), Domiz di Irak (untuk pengungsi Suriah Kurdi), atau Al-Hol di timur laut Suriah.

Di sini, UNHCR (Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi) dan mitra-mitranya mengatur registrasi, distribusi bantuan, layanan kesehatan, pendidikan, serta koordinasi keamanan.

Biasanya kamp ini terorganisir, ada tenda atau bangunan prefabrikasi, jalan, serta fasilitas umum.
---

2. Kamp semi-resmi di bawah otoritas lokal atau milisi

Banyak kamp di Suriah timur laut (dikelola Administrasi Otonomi Kurdi/SDF) atau di Irak yang dikelola pemerintah daerah Kurdistan Irak.

Layanan di sini sering tidak selengkap kamp UNHCR, tapi tetap ada keterlibatan NGO internasional.

Misalnya kamp Hasakah atau Kawrgosk di Erbil.
---

3. Pengungsian mandiri / sporadis di luar kamp

Jutaan pengungsi Suriah dan Irak tinggal di kota-kota besar atau desa-desa tanpa mendaftar ke lembaga resmi.

Mereka menyewa rumah, menumpang di keluarga, atau membangun tempat tinggal darurat.

Ini sering disebut sebagai “urban refugees”. Kondisi mereka sering lebih tidak terlihat, tetapi juga rawan karena minim bantuan resmi.
---

4. Kamp pengungsi internal (IDP camps)

Di Irak: banyak kamp IDP (Internally Displaced Persons) bagi warga yang mengungsi dari Mosul, Fallujah, atau Sinjae.

Di Suriah: IDP camp tersebar di Idlib, Aleppo utara, dan Raqqa, sering berupa tenda darurat di tanah lapang.

Kadang dikelola NGO lokal, kadang hanya swadaya masyarakat.
---

5. Pengungsian berbasis agama/komunitas

Misalnya komunitas Yazidi yang terpusat di kamp Sharya atau di Sinjar, dengan pola bantuan khusus karena identitas mereka.

Demikian juga minoritas Kristen Irak banyak mengungsi ke Ankawa (Erbil) dan membentuk kawasan semi-eksklusif.
---

6. Kamp “tertutup” dengan pengawasan ketat

Salah satu contoh terkenal adalah Kamp Bucca di Irak selatan (di dekat Umm Qasr, Basra). Awalnya dibuat AS untuk menahan ribuan tahanan selama perang Irak pasca 2003.

Meski disebut kamp pengungsi/tahanan, sifatnya lebih mirip penjara militer ketimbang kamp kemanusiaan.

Di Suriah, ada juga kamp Al-Hol yang mirip “semi-penjara”, dengan pengawasan ketat dan mobilitas terbatas.
---

7. Penampungan sementara di sekolah, gedung kosong, atau tenda darurat

Saat gelombang pengungsian besar (misalnya setelah jatuhnya Mosul 2014 atau Aleppo 2016), banyak keluarga tinggal di sekolah, stadion, atau bangunan kosong sebelum dipindahkan ke kamp permanen.
---

Jadi, jika disederhanakan, ada tiga poros besar jenis pengungsian di Suriah dan Irak:

1. Pengungsian resmi dan semi-resmi (dikelola UNHCR, pemerintah, atau otoritas lokal).

2. Pengungsian mandiri/urban refugees (tidak terdaftar, hidup sporadis di kota atau desa).

3. Kamp tertutup/penahanan (seperti Bucca di Irak atau Al-Hol di Suriah) yang lebih menyerupai fasilitas keamanan dibanding pengungsian biasa.
____

Di kamp Al-Hol (timur laut Suriah, dekat perbatasan Irak), meski statusnya sering digambarkan mirip “penjara terbuka”, ternyata ada juga pasar internal dan aktivitas ekonomi yang tumbuh di antara para penghuninya.

Beberapa hal yang tercatat dari laporan lapangan:

Pasar kecil (souq) muncul secara spontan di dalam kamp. Warga menjual bahan makanan, pakaian, roti, bahkan barang-barang kecil lain. Ada kios-kios darurat dari kayu, terpal, atau papan.

Banyak aktivitas itu dijalankan oleh penghuni sendiri. Sebagian modal didapat dari kiriman uang keluarga melalui jaringan informal (hawala) atau bantuan yang ditukar.

Ada pula perdagangan gelap — barang-barang masuk lewat penjaga kamp atau penyelundupan, terutama rokok, obat-obatan, bahkan ponsel.

Jasa informal juga berkembang: menjahit, potong rambut, membuat roti, atau tukang cuci pakaian.

Namun aktivitas ekonomi ini tidak bebas. Semua di bawah pengawasan ketat pasukan Kurdi (SDF). Beberapa zona bahkan dipisahkan, khususnya bagi keluarga asing anggota ISIS yang aksesnya lebih terbatas.

Pendapatan yang didapat sangat minim, tapi bagi penghuni kamp, aktivitas ekonomi kecil-kecilan itu adalah cara bertahan hidup, apalagi karena bantuan resmi sering tidak mencukupi.

Jadi, meski Al-Hol identik dengan kontrol militer dan stigma penjara, di dalamnya tetap muncul ekonomi bayangan khas pengungsian: pasar sederhana, barter, dan usaha kecil yang dijalankan para penghuni untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
---

TENTANG kamp Palestina di Suriah dan Lebanon, yang awalnya memang dimulai sebagai tenda-tenda pengungsian sejak 1948 dan 1967, kini banyak di antaranya sudah berkembang menjadi kota permanen dengan ribuan bangunan beton.

Secara kategori, kamp-kamp seperti ini berada di posisi unik, bukan sepenuhnya “kamp pengungsi darurat” tapi juga bukan kota biasa. Mereka lebih tepat disebut:

1. Kamp permanen / urbanized camps

Awalnya didirikan UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) sebagai kamp pengungsian sementara.

Tapi seiring waktu, keluarga Palestina membangun rumah permanen dari beton, membentuk jalan, sekolah, masjid, bahkan pasar.

Contoh: Yarmuk di Damaskus (Suriah), Shatila dan Bourj el-Barajneh di Beirut (Lebanon).

Secara fisik, sudah mirip kota padat, tapi status hukumnya tetap “kamp pengungsi” di bawah UNRWA.

2. Kawasan semi-otonom dengan identitas kuat Palestina

Di Lebanon, kamp-kamp Palestina punya status khusus: tidak sepenuhnya di bawah hukum Lebanon, tapi juga tidak independen.

Misalnya di Ein el-Hilweh (Sidon, Lebanon), ada struktur politik internal sendiri, kadang dipimpin faksi-faksi Palestina (Fatah, Hamas, atau kelompok independen).

Di Suriah sebelum perang, kamp Palestina lebih terintegrasi dengan masyarakat Suriah. Yarmuk bahkan disebut “ibu kota diaspora Palestina”.

3. Kategori perumahan pengungsi permanen

Kalau dibandingkan dengan pengungsian Suriah atau Irak, mereka tidak lagi masuk kategori kamp darurat atau IDP camp, melainkan lebih mirip kota pengungsi permanen.

Jadi, bisa dikatakan mereka termasuk dalam kategori urban refugees settlement: sebuah kamp pengungsi yang telah berubah menjadi kawasan perkotaan dengan struktur sosial, ekonomi, dan budaya yang relatif mandiri.
---

📌 Jadi singkatnya:

Kamp Palestina di Suriah dan Lebanon yang sudah menjadi kota = kategori "kamp permanen/urbanized camp".

Mereka berbeda dengan kamp darurat seperti Zaatari di Yordania atau Al-Hol di Suriah.

Statusnya juga unik: secara hukum tetap disebut “kamp pengungsi” oleh UNRWA, tapi kenyataannya mereka sudah berfungsi seperti kota dengan kehidupan sosial-ekonomi penuh.
---

spacer

Benishangul, Kesultanan Kuno yang Masih Berjuang untuk Bangkit di Ethiopia


Di sudut barat Ethiopia, sebuah kawasan kecil yang kaya emas dan sejarah panjang peradaban Islam terus memperjuangkan nasibnya. Wilayah itu bernama Benishangul, dahulu merupakan sebuah kesultanan merdeka yang memiliki hubungan erat dengan Sudan dan peradaban-peradaban Muslim di sepanjang Sungai Nil. Namun, sejak akhir abad ke-19, Benishangul kehilangan kemerdekaannya di bawah kekuasaan Ethiopia. Hingga kini, hasrat untuk kembali berdiri sebagai entitas politik yang berdaulat masih hidup di hati sebagian masyarakatnya.

Pada masa lalu, kawasan Benishangul dikenal sebagai tanah subur di pinggiran Sungai Abay atau Nil Biru, dihuni oleh berbagai komunitas Muslim yang membentuk beberapa kesultanan kecil seperti Asosa, Bambasi, dan Gubba. Kesultanan-kesultanan ini berdiri sebagai pusat perdagangan penting antara Sudan, wilayah Ethiopia, dan Mesir. Emas menjadi komoditas utama, selain rempah dan hasil hutan. Sebagian besar wilayah ini dipengaruhi budaya Arab dan Islam, yang menyebar melalui jalur perdagangan dan hubungan keagamaan.

Masuk ke abad ke-19, gelombang kekacauan mulai mengguncang kawasan itu ketika Sudan didera pemberontakan besar yang dikenal sebagai Mahdi Uprising. Perlawanan yang dipimpin Muhammad Ahmad Al-Mahdi melawan penjajah Inggris dibantu oleh beberapa elemen dari Mesir dan Sudan yang saat itu masih wilayah Kekaisaran Turki Utsmani, secara tidak langsung memengaruhi stabilitas di Benishangul. Wilayah ini menjadi jalur logistik sekaligus tempat berlindung bagi kelompok-kelompok bersenjata dari Sudan.

Ketegangan regional makin memuncak ketika Abdallahi ibn Muhammad, penerus Muhammad Ahmad, menyadari bahwa kawasan Benishangul bisa menjadi sasaran Inggris dalam ekspansi kolonial mereka ke kawasan Sungai Nil. Dalam upaya menghalau ancaman tersebut, Abdallahi mengajak koalisi Kekaisaran Ethiopia di bawah Menelik II untuk mempertahankan Benishangul sebelum Inggris sempat mencaploknya. Menelik II menyambut permintaan itu sebagai peluang memperluas wilayah kekuasaan.

Pada akhir 1800-an, pasukan Ethiopia melakukan ekspansi ke barat dan secara bertahap menaklukkan kesultanan-kesultanan kecil di Benishangul dan Gubba. Pada tahun 1898, wilayah ini resmi dianeksasi ke dalam Kekaisaran Ethiopia. Kota Asosa, salah satu pusat perdagangan penting di wilayah itu, ditetapkan sebagai ibu kota politik dan ekonomi Benishangul di bawah otoritas Ethiopia. Sejak saat itu, perlahan otonomi lokal dihapus.

Meski ditaklukkan secara politik, identitas dan budaya masyarakat Benishangul tidak pernah sepenuhnya hilang. Masyarakat Muslim di kawasan ini tetap mempertahankan bahasa Arab lokal, adat istiadat Islam, serta sistem kepemimpinan tradisional di bawah para pemuka agama dan bangsawan keturunan sultan. Namun, pengaruh pemerintah pusat Ethiopia terus membatasi ruang gerak politik dan budaya mereka.

Selama beberapa dekade setelah aneksasi, wilayah Benishangul kerap mengalami ketegangan dengan pemerintah pusat. Pemerintahan Ethiopia yang didominasi kelompok etnis dataran tinggi seperti Amhara dan Tigray kerap dipandang sebagai kekuatan asing oleh komunitas Benishangul yang berbeda secara budaya dan agama. Kebijakan sentralisasi dan kontrol sumber daya emas di kawasan itu memperparah ketegangan.

Pada era modern, upaya masyarakat Benishangul untuk meraih kembali otonomi kian menguat. Sejumlah kelompok lokal mendesak agar pemerintah Ethiopia mengakui status khusus atau bahkan kemerdekaan bagi wilayah tersebut. Aspirasi ini semakin keras terdengar sejak Ethiopia mengalami krisis politik etnis pasca runtuhnya kekuasaan Derg dan bergantinya sistem pemerintahan ke federalisme etnis pada 1990-an.

Benishangul-Gumuz akhirnya ditetapkan sebagai salah satu wilayah administratif federal di Ethiopia. Meski di atas kertas memiliki hak otonomi, dalam praktiknya pemerintah pusat masih memiliki kontrol kuat terhadap wilayah itu, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan keamanan. Banyak elite lokal menganggap sistem federalisme Ethiopia belum benar-benar memberi ruang kebebasan bagi wilayah mereka.

Selama dua dekade terakhir, kelompok-kelompok perlawanan kecil muncul di Benishangul, meski sering kali tertutupi oleh konflik yang lebih besar di wilayah Tigray dan Oromia. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan diaspora Benishangul di Sudan aktif menyerukan pembentukan negara merdeka yang berdiri di atas sisa-sisa kesultanan lama mereka.

Di sisi lain, pemerintah Ethiopia tetap memandang Benishangul sebagai bagian tak terpisahkan dari negara. Apalagi kawasan itu memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi lokasi proyek Bendungan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) yang dibangun di Sungai Nil Biru. Proyek raksasa ini membuat kontrol atas Benishangul makin diperketat, sebab kawasan itu menjadi kawasan vital bagi proyek nasional Ethiopia.

Ketegangan makin terasa dalam beberapa tahun terakhir ketika sejumlah laporan menyebut adanya kekerasan etnis dan operasi militer di kawasan itu. Bentrokan antara milisi lokal dengan pasukan pemerintah maupun antar-komunitas sering terjadi, memperlihatkan rapuhnya stabilitas di wilayah tersebut. Hal ini diperburuk oleh keterlibatan kekuatan asing seperti Sudan, yang memiliki ikatan sejarah dan etnis dengan masyarakat Benishangul.

Meski dunia internasional lebih banyak menyoroti konflik di Tigray, isu Benishangul perlahan mulai mencuat di kalangan pemerhati geopolitik Afrika. Beberapa lembaga HAM internasional mulai mengangkat soal pelanggaran hak asasi dan marginalisasi etnis Benishangul di Ethiopia. Namun hingga kini, belum ada tekanan internasional signifikan kepada pemerintah Ethiopia terkait nasib kawasan itu.

Sejumlah tokoh adat dan keturunan sultan Benishangul di diaspora Sudan dan negara-negara Teluk juga mulai aktif memperjuangkan diplomasi informal. Mereka berharap bisa membangun kembali identitas politik Benishangul di tengah arus politik modern Afrika yang mulai terbuka terhadap isu-isu hak minoritas dan otonomi daerah.

Kisah Benishangul menunjukkan bagaimana wilayah-wilayah kecil dengan sejarah kerajaan lama sering kali terpinggirkan dalam negara modern yang dibangun di atas kekuasaan sentral. Meski demikian, identitas kultural dan semangat perlawanan terhadap dominasi luar terus diwariskan lintas generasi, menjaga bara perjuangan tetap menyala.

Hingga kini, harapan masyarakat Benishangul untuk kembali mengatur nasibnya sendiri belum sirna. Mereka tetap menggantungkan cita-cita di tengah pusaran konflik etnis di Ethiopia, ketegangan geopolitik Sungai Nil, dan ketatnya pengawasan pemerintah pusat atas kawasan-kawasan kaya sumber daya. Benishangul tetap menunggu waktu yang tepat untuk merebut kembali panggung sejarahnya.

spacer

Merangkul Perbedaan, Menyatukan Yaman yang Terpecah

Ketegangan di wilayah utara Yaman kembali memuncak dengan kematian Sheikh Saleh Ahmed Hantous, seorang imam dan pengajar Al-Qur’an yang dikenal moderat. Ia menjadi korban serangan milisi Houthi di provinsi Raymah, kawasan yang berdekatan dengan Amran dan merupakan pusat kekuasaan kelompok Syiah Zaydi tersebut. Sheikh Hantous selama puluhan tahun membina komunitasnya melalui pendidikan agama, menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan sektarian yang dipaksakan oleh milisi Houthi.

Serangan yang terjadi pada Juli 2025 itu tidak hanya menimbulkan luka fisik bagi sang imam dan keluarganya, tetapi juga menyulut kemarahan di kalangan masyarakat dan komunitas internasional. Upaya evakuasi yang terhambat oleh pengawalan ketat milisi membuat kondisi semakin genting. Ambulans dilarang memasuki lokasi, menambah penderitaan korban. Pemerintah Yaman di Aden mengecam insiden tersebut dan menuduh Houthi menekan secara sistematis tokoh agama Sunni yang dianggap menentang dominasi mereka.

Sikap Sheikh Hantous yang tetap menjalankan pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan kalender pemerintah Aden menjadi salah satu alasan utama konflik. Hal ini memicu gesekan dengan otoritas Houthi yang bermazhab Syiah Zaydi, yang memiliki interpretasi keagamaan berbeda. Sheikh Hantous adalah simbol moderasi dan kebebasan beragama yang menjadi tantangan bagi agenda pemerintahan Houthi.

Wilayah Amran dan Raymah merupakan medan perebutan pengaruh yang melibatkan suku Hashid dan Bakil, dua konfederasi suku terbesar di Yaman utara, serta partai politik seperti Al-Islah yang kuat di kalangan Sunni. Meskipun Al-Islah secara resmi menentang Houthi, beberapa anggota partai pernah melakukan negosiasi pragmatis dengan milisi untuk menjaga keamanan lokal. Namun demikian, konflik yang terjadi lebih didasarkan pada pertarungan ideologi dan kekuasaan daripada sekadar persaingan suku.

Dinamika sektarian ini mirip walauntak sama dengan konflik yang pernah terjadi di Irlandia Utara antara komunitas Protestan dan Katolik. Kedua konflik tersebut sama-sama mengandung unsur identitas keagamaan dan politik yang saling bertentangan, memicu kekerasan yang berkepanjangan. Di Irlandia Utara, konflik berkepanjangan yang dikenal sebagai "The Troubles" berlangsung selama puluhan tahun, didorong oleh perbedaan agama (Protestan vs Katolik) dan keinginan politik yang berbeda terkait masa depan wilayah tersebut.

Sama halnya di Yaman, konflik sektarian di Irlandia Utara tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang penindasan, ketidaksetaraan, dan politik identitas. Upaya rekonsiliasi dan perdamaian memakan waktu bertahun-tahun dengan melibatkan negosiasi yang rumit, kesepakatan politik, dan penghormatan atas keberagaman identitas. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi Yaman untuk menghindari jatuh ke dalam lingkaran kekerasan sektarian yang berkepanjangan.

Dalam kasus Yaman, pemerintah Houthi di Sana’a dihadapkan pada pilihan untuk membuka ruang rekonsiliasi dan dialog inklusif. Merangkul oposisi politik, komunitas Sunni, serta suku-suku besar sangat penting untuk menciptakan suasana kondusif dan stabil. Memaksakan satu aliran mazhab tunggal hanya akan memperdalam perpecahan dan memperpanjang konflik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Partai Al-Islah, meskipun menentang ideologi Houthi, memainkan peran penting dalam dinamika politik Yaman utara. Beberapa anggotanya pernah berupaya melakukan negosiasi dengan Houthi demi kelangsungan pengaruh lokal. Namun secara keseluruhan, konflik di Yaman adalah pertarungan ideologi partai dan kekuasaan yang rumit dan tidak semata-mata pertikaian antar suku.

Suku Hashid dan Bakil juga tetap menjadi aktor penting dalam proses perdamaian. Kedua konfederasi ini memiliki jaringan luas dan kapasitas mobilisasi yang signifikan. Kerjasama yang baik dengan suku-suku ini menjadi kunci dalam menciptakan stabilitas di kawasan tersebut.

Berbeda dengan Irlandia Utara yang berhasil mencapai kesepakatan damai melalui Perjanjian Jumat Agung (Good Friday Agreement) pada 1998, Yaman masih berjuang mencari jalur perdamaian yang efektif. Pengalaman Irlandia menunjukkan bahwa toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan dialog terbuka merupakan kunci utama dalam mengakhiri konflik sektarian.

Kematian Sheikh Hantous menjadi peringatan keras bagi pemerintah de facto di Sana’a bahwa kekerasan terhadap tokoh agama hanya akan merusak citra dan memperdalam perpecahan. Jika konflik sektarian terus dibiarkan tanpa penyelesaian, dampaknya akan meluas ke wilayah lain dan memperpanjang penderitaan rakyat.

Komunitas Sunni di Yaman utara, meskipun kini berada di bawah tekanan, memiliki akar budaya dan sosial yang kuat dan mayoritas secara keseluruhan. Tekanan dan kekerasan yang mereka alami berpotensi memicu perlawanan yang lebih besar di masa depan jika tidak direspons dengan cara yang inklusif dan damai.

Pemerintah di Aden pun mulai memanfaatkan momentum ini untuk menggalang dukungan oposisi di wilayah utara. Narasi perlawanan terhadap dominasi Houthi semakin menggema, namun tanpa dialog dan rekonsiliasi yang tulus, upaya stabilisasi sulit terwujud.

Dunia internasional pun berperan penting dengan memberikan tekanan politik dan dukungan kemanusiaan, sembari mendorong semua pihak untuk menyelesaikan konflik melalui jalur damai. Bantuan kemanusiaan harus disertai dengan langkah konkret menuju rekonsiliasi nasional.

Yaman membutuhkan pemimpin dan kebijakan yang mampu menghargai keberagaman dan merangkul perbedaan. Tanpa pendekatan ini, konflik sektarian akan terus berlanjut, melukai generasi yang akan datang.

Rekonsiliasi dan dialog nasional adalah langkah yang harus diprioritaskan oleh semua pihak. Kepentingan rakyat harus menjadi fokus utama dalam mencari solusi yang berkelanjutan.

Kondisi politik yang kompleks di Yaman menuntut sikap pragmatis dari pemerintah Houthi. Merangkul semua pihak, termasuk oposisi dan komunitas agama minoritas, akan membuka jalan bagi perdamaian yang lebih kokoh.

Hanya dengan inklusivitas dan penghormatan terhadap pluralitas, Yaman dapat keluar dari konflik sektarian dan membangun masa depan yang damai dan stabil.

Tragedi Sheikh Hantous adalah pengingat bahwa kekuasaan tanpa toleransi hanya akan melahirkan perlawanan. Yaman harus belajar dari pengalaman internasional seperti Irlandia Utara agar tidak terperangkap dalam lingkaran kekerasan yang tiada akhir.

spacer

Belajar dari Sejarah Dualisme Pemerintahan


Libya saat ini tengah berada dalam posisi pelik, di mana dua pemerintahan berdiri di atas satu negara dengan kekuasaan yang terbagi tidak merata. Di Tripoli, pemerintahan yang diakui PBB dan negara Barat berkuasa secara administratif dan simbolik, sementara di Benghazi, pemerintahan saingan yang dipimpin House of Representatives bersama milisi Khalifa Haftar mengendalikan wilayah timur yang kaya minyak. Kondisi ini menciptakan situasi ekonomi dan politik yang rapuh, dengan ancaman perpecahan selalu mengintai di setiap keputusan penting.

Fenomena dua pemerintahan di satu wilayah bukan hal baru dalam sejarah politik dunia. Pada abad ke-18, di India era kolonial Inggris, dikenal sistem Dual Government di Bengal antara 1765 hingga 1772. Ketika itu, East India Company memegang kekuasaan penuh atas pemungutan pajak (Diwani), sementara Nawab Bengal hanya bertugas menjaga ketertiban dan hukum (Nizamat). Pengaturan ini memungkinkan Inggris menikmati hasil ekonomi tanpa harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, yang berujung pada bencana kelaparan dan kekacauan administratif.

Sejarah Nusantara pun mengenal model serupa di Kesultanan Barus, Sumatra. Selama dua abad, Barus diperintah oleh dua keluarga bangsawan, yaitu pihak Hilir dan Hulu. Kedua dinasti ini bergantian atau saling mengungguli satu sama lain dalam mengelola kekuasaan atas Barus. Meski kerap diwarnai ketegangan dan perebutan pengaruh, sistem ini nyatanya berhasil menjaga eksistensi Barus di tengah gempuran kerajaan-kerajaan lain dan persaingan dagang internasional.

Dari ketiga contoh itu, dapat ditarik pelajaran bahwa dualisme pemerintahan memiliki sisi positif dan negatif yang sangat tergantung pada pola pengelolaan kekuasaan serta kemauan politik elite-elite di dalamnya. Positifnya, dualisme dapat menciptakan keseimbangan kekuatan yang mencegah lahirnya kediktatoran mutlak. Ia juga bisa menjadi jalan kompromi politik di tengah situasi konflik yang belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Namun di sisi lain, dualisme sering kali melahirkan ketidakjelasan kebijakan, birokrasi yang tumpang tindih, serta rawan dijadikan alat perebutan dana dan pengaruh oleh elit-elit politik. Seperti di Bengal, ketidakseimbangan kontrol menyebabkan kehancuran ekonomi rakyat. Begitu pula di Libya, tarik-menarik pengelolaan dana minyak yang disimpan di Bank Sentral Tripoli memicu ketegangan dengan Benghazi yang merasa wilayah produksinya tidak mendapatkan pembagian adil.

Libya saat ini menghadapi dilema serupa. Pemerintahan di Tripoli mengklaim legitimasi internasional, sementara Benghazi menguasai ladang-ladang minyak utama yang menopang ekonomi negara. Perebutan kendali atas bank sentral dan dana hasil ekspor minyak menjadi inti konflik, dengan masing-masing pihak khawatir jika lawan politiknya menguasai penuh sumber daya ekonomi.

Belajar dari Barus, model dua pemerintahan bisa dipertahankan dengan syarat adanya aturan rotasi atau pembagian kewenangan yang jelas dan disepakati kedua belah pihak. Di Barus, meski dua dinasti kerap bersaing, mereka tetap menjaga aturan main yang mencegah salah satu pihak menguasai penuh istana dalam waktu lama. Mekanisme seperti ini bisa dipertimbangkan di Libya agar konflik tidak terus membara.

Libya juga bisa mencermati kegagalan Bengal, di mana satu pihak memegang kendali ekonomi sementara pihak lain hanya simbolik. Jika Tripoli terus memonopoli distribusi pendapatan minyak tanpa kesepakatan transparan dengan Benghazi, ketegangan politik pasti berlanjut dan ekonomi Libya sulit stabil. Transparansi pembagian hasil dan pembentukan lembaga bersama seperti dewan pengelola pendapatan bisa menjadi solusi.

Bahaya terbesar dari dualisme pemerintahan adalah potensi negara pecah secara de facto. Jika konflik Libya dibiarkan tanpa kerangka penyatuan, bisa saja Cyrenaica di timur dan Tripolitania di barat berkembang menjadi dua negara berbeda, seperti yang terjadi di Korea atau situasi ambigu antara Tiongkok dan Taiwan. Libya perlu belajar dari sejarah bahwa membelah negara hanya akan menambah luka berkepanjangan.

Di sisi lain, pengalaman Barus menunjukkan dualisme bisa dipertahankan asal kedua belah pihak menyadari bahwa kelangsungan negara lebih penting daripada ambisi kelompok. Ketegangan politik dapat dikelola melalui pembagian peran dan rotasi kekuasaan dengan tetap menjaga integritas wilayah dan kerangka hukum bersama. Kuncinya ada di kemauan elite untuk duduk bersama merumuskan aturan main jangka panjang.

Libya pun harus menghindari jebakan seperti Bengal, di mana ketimpangan kontrol justru mempercepat keruntuhan. Jika dua pemerintahan Libya tidak segera menyepakati kerangka kerja keuangan, ekonomi rakyat akan menjadi korban pertama. Kegagalan membayar gaji pegawai negeri, layanan kesehatan, dan subsidi bahan pokok akan memicu gelombang protes sosial yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Upaya terbaru menunjuk gubernur bank sentral bersama patut diapresiasi sebagai langkah awal. Namun, kesepakatan ini harus dilanjutkan dengan pembentukan dewan bersama pengelola hasil minyak dan mekanisme audit terbuka. Pembagian anggaran dan proyek pembangunan harus didesain adil untuk seluruh wilayah tanpa diskriminasi politik.

Libya bisa pula mengambil pelajaran dari masa depan Barus, yang pada akhirnya mengalami kemunduran setelah kedua dinasti gagal mempertahankan kompromi kekuasaan. Ketika satu dinasti mulai memonopoli pengaruh, konflik tak terelakkan dan Barus kehilangan peran strategisnya di jalur perdagangan internasional.

Situasi Libya yang kaya minyak sekaligus rawan konflik menjadikannya negara yang paling membutuhkan rekonsiliasi elite. Kedua belah pihak harus menyadari bahwa perebutan dana dan pengaruh semata hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat serta menghambat pembangunan pasca-perang yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.

Jika Libya mampu menyusun mekanisme dualisme kekuasaan berbasis kesepakatan adil, transparan, dan rotasi wewenang, bukan tidak mungkin negara ini bisa menjadi contoh negara pasca-konflik yang berhasil keluar dari jerat perang saudara. Sejarah menunjukkan dualisme bukan akhir, tapi bisa menjadi jembatan menuju rekonsiliasi nasional.

spacer

Perbandingan Kesejahteraan Warga Kurdi di Berbagai Negara

Jakarta – Kawasan Timur Tengah dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, namun juga rentan terhadap konflik dan ketidakstabilan politik. 

Kondisi ini berdampak signifikan pada perekonomian negara-negara di kawasan tersebut, termasuk PDB per kapita.
Mari kita bandingkan PDB per kapita di beberapa negara dan wilayah di kawasan ini:

 * Irak:

   * PDB per kapita Irak pada tahun 2023 tercatat sebesar 4.175,70 dolar AS.
   * Ekonomi Irak sangat bergantung pada sektor minyak, yang rentan terhadap fluktuasi harga global.
   * Konflik dan ketidakstabilan politik telah menghambat pertumbuhan ekonomi Irak.
 * Kurdistan (Irak Utara):
   * PDB per kapita di wilayah otonom Kurdistan tercatat lebih tinggi, yaitu 12711.06 dolar AS pada tahun 2023.
   * Kurdistan juga memiliki sumber daya minyak, tetapi telah berupaya mendiversifikasi ekonomi.
   * Stabilitas politik yang relatif lebih baik dan investasi asing yang lebih besar menjadi faktor pendukung.

 * Suriah:

   * Konflik berkepanjangan di Suriah telah menghancurkan ekonominya.
   * Data PDB per kapita Suriah sulit diperoleh karena situasi yang tidak stabil, tetapi diperkirakan sangat rendah.
   * Wilayah yang dikuasai oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Kurdi juga mengalami kesulitan ekonomi akibat konflik dan ketidakstabilan.

 * Iran:

   * Ekonomi Iran juga menghadapi tantangan akibat sanksi internasional dan ketidakstabilan politik.
   * Data PDB per kapita Iran bervariasi tergantung pada sumbernya, tetapi diperkirakan berada di kisaran 3000-4000 dolar AS.
   * Wilayah Kurdi di Iran juga mengalami kesulitan ekonomi akibat kurangnya investasi dan ketegangan politik.

 * Turki:

   * Turki memiliki ekonomi yang lebih terdiversifikasi dibandingkan negara-negara lain di kawasan ini.
   * PDB per kapita Turki diperkirakan berada di kisaran 10.000 dolar AS.
   * Wilayah Kurdi di Turki, terutama di bagian tenggara, mengalami kesulitan ekonomi akibat konflik dan kurangnya investasi.

Analisis:

 * Perbedaan PDB per kapita di kawasan ini mencerminkan dampak konflik, ketidakstabilan politik, dan ketergantungan pada sektor minyak.
 * Wilayah-wilayah yang relatif lebih stabil dan mampu mendiversifikasi ekonomi cenderung memiliki PDB per kapita yang lebih tinggi.
 * Konflik bersenjata dan sanksi internasional telah menghambat pertumbuhan ekonomi di Suriah, Iran, dan wilayah-wilayah Kurdi di negara-negara tersebut.
 * Penting untuk diingat bahwa data ekonomi di wilayah konflik seringkali tidak lengkap atau tidak akurat, sehingga perbandingan ini bersifat perkiraan.
Kesimpulan:
 * Peningkatan stabilitas politik, diversifikasi ekonomi, dan investasi menjadi kunci untuk meningkatkan PDB per kapita di kawasan ini.
 * Kerja sama internasional dan upaya perdamaian juga diperlukan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.

Dibuat oleh AI
spacer