Benishangul, Kesultanan Kuno yang Masih Berjuang untuk Bangkit di Ethiopia


Di sudut barat Ethiopia, sebuah kawasan kecil yang kaya emas dan sejarah panjang peradaban Islam terus memperjuangkan nasibnya. Wilayah itu bernama Benishangul, dahulu merupakan sebuah kesultanan merdeka yang memiliki hubungan erat dengan Sudan dan peradaban-peradaban Muslim di sepanjang Sungai Nil. Namun, sejak akhir abad ke-19, Benishangul kehilangan kemerdekaannya di bawah kekuasaan Ethiopia. Hingga kini, hasrat untuk kembali berdiri sebagai entitas politik yang berdaulat masih hidup di hati sebagian masyarakatnya.

Pada masa lalu, kawasan Benishangul dikenal sebagai tanah subur di pinggiran Sungai Abay atau Nil Biru, dihuni oleh berbagai komunitas Muslim yang membentuk beberapa kesultanan kecil seperti Asosa, Bambasi, dan Gubba. Kesultanan-kesultanan ini berdiri sebagai pusat perdagangan penting antara Sudan, wilayah Ethiopia, dan Mesir. Emas menjadi komoditas utama, selain rempah dan hasil hutan. Sebagian besar wilayah ini dipengaruhi budaya Arab dan Islam, yang menyebar melalui jalur perdagangan dan hubungan keagamaan.

Masuk ke abad ke-19, gelombang kekacauan mulai mengguncang kawasan itu ketika Sudan didera pemberontakan besar yang dikenal sebagai Mahdi Uprising. Perlawanan yang dipimpin Muhammad Ahmad Al-Mahdi melawan penjajah Inggris dibantu oleh beberapa elemen dari Mesir dan Sudan yang saat itu masih wilayah Kekaisaran Turki Utsmani, secara tidak langsung memengaruhi stabilitas di Benishangul. Wilayah ini menjadi jalur logistik sekaligus tempat berlindung bagi kelompok-kelompok bersenjata dari Sudan.

Ketegangan regional makin memuncak ketika Abdallahi ibn Muhammad, penerus Muhammad Ahmad, menyadari bahwa kawasan Benishangul bisa menjadi sasaran Inggris dalam ekspansi kolonial mereka ke kawasan Sungai Nil. Dalam upaya menghalau ancaman tersebut, Abdallahi mengajak koalisi Kekaisaran Ethiopia di bawah Menelik II untuk mempertahankan Benishangul sebelum Inggris sempat mencaploknya. Menelik II menyambut permintaan itu sebagai peluang memperluas wilayah kekuasaan.

Pada akhir 1800-an, pasukan Ethiopia melakukan ekspansi ke barat dan secara bertahap menaklukkan kesultanan-kesultanan kecil di Benishangul dan Gubba. Pada tahun 1898, wilayah ini resmi dianeksasi ke dalam Kekaisaran Ethiopia. Kota Asosa, salah satu pusat perdagangan penting di wilayah itu, ditetapkan sebagai ibu kota politik dan ekonomi Benishangul di bawah otoritas Ethiopia. Sejak saat itu, perlahan otonomi lokal dihapus.

Meski ditaklukkan secara politik, identitas dan budaya masyarakat Benishangul tidak pernah sepenuhnya hilang. Masyarakat Muslim di kawasan ini tetap mempertahankan bahasa Arab lokal, adat istiadat Islam, serta sistem kepemimpinan tradisional di bawah para pemuka agama dan bangsawan keturunan sultan. Namun, pengaruh pemerintah pusat Ethiopia terus membatasi ruang gerak politik dan budaya mereka.

Selama beberapa dekade setelah aneksasi, wilayah Benishangul kerap mengalami ketegangan dengan pemerintah pusat. Pemerintahan Ethiopia yang didominasi kelompok etnis dataran tinggi seperti Amhara dan Tigray kerap dipandang sebagai kekuatan asing oleh komunitas Benishangul yang berbeda secara budaya dan agama. Kebijakan sentralisasi dan kontrol sumber daya emas di kawasan itu memperparah ketegangan.

Pada era modern, upaya masyarakat Benishangul untuk meraih kembali otonomi kian menguat. Sejumlah kelompok lokal mendesak agar pemerintah Ethiopia mengakui status khusus atau bahkan kemerdekaan bagi wilayah tersebut. Aspirasi ini semakin keras terdengar sejak Ethiopia mengalami krisis politik etnis pasca runtuhnya kekuasaan Derg dan bergantinya sistem pemerintahan ke federalisme etnis pada 1990-an.

Benishangul-Gumuz akhirnya ditetapkan sebagai salah satu wilayah administratif federal di Ethiopia. Meski di atas kertas memiliki hak otonomi, dalam praktiknya pemerintah pusat masih memiliki kontrol kuat terhadap wilayah itu, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan keamanan. Banyak elite lokal menganggap sistem federalisme Ethiopia belum benar-benar memberi ruang kebebasan bagi wilayah mereka.

Selama dua dekade terakhir, kelompok-kelompok perlawanan kecil muncul di Benishangul, meski sering kali tertutupi oleh konflik yang lebih besar di wilayah Tigray dan Oromia. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan diaspora Benishangul di Sudan aktif menyerukan pembentukan negara merdeka yang berdiri di atas sisa-sisa kesultanan lama mereka.

Di sisi lain, pemerintah Ethiopia tetap memandang Benishangul sebagai bagian tak terpisahkan dari negara. Apalagi kawasan itu memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi lokasi proyek Bendungan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) yang dibangun di Sungai Nil Biru. Proyek raksasa ini membuat kontrol atas Benishangul makin diperketat, sebab kawasan itu menjadi kawasan vital bagi proyek nasional Ethiopia.

Ketegangan makin terasa dalam beberapa tahun terakhir ketika sejumlah laporan menyebut adanya kekerasan etnis dan operasi militer di kawasan itu. Bentrokan antara milisi lokal dengan pasukan pemerintah maupun antar-komunitas sering terjadi, memperlihatkan rapuhnya stabilitas di wilayah tersebut. Hal ini diperburuk oleh keterlibatan kekuatan asing seperti Sudan, yang memiliki ikatan sejarah dan etnis dengan masyarakat Benishangul.

Meski dunia internasional lebih banyak menyoroti konflik di Tigray, isu Benishangul perlahan mulai mencuat di kalangan pemerhati geopolitik Afrika. Beberapa lembaga HAM internasional mulai mengangkat soal pelanggaran hak asasi dan marginalisasi etnis Benishangul di Ethiopia. Namun hingga kini, belum ada tekanan internasional signifikan kepada pemerintah Ethiopia terkait nasib kawasan itu.

Sejumlah tokoh adat dan keturunan sultan Benishangul di diaspora Sudan dan negara-negara Teluk juga mulai aktif memperjuangkan diplomasi informal. Mereka berharap bisa membangun kembali identitas politik Benishangul di tengah arus politik modern Afrika yang mulai terbuka terhadap isu-isu hak minoritas dan otonomi daerah.

Kisah Benishangul menunjukkan bagaimana wilayah-wilayah kecil dengan sejarah kerajaan lama sering kali terpinggirkan dalam negara modern yang dibangun di atas kekuasaan sentral. Meski demikian, identitas kultural dan semangat perlawanan terhadap dominasi luar terus diwariskan lintas generasi, menjaga bara perjuangan tetap menyala.

Hingga kini, harapan masyarakat Benishangul untuk kembali mengatur nasibnya sendiri belum sirna. Mereka tetap menggantungkan cita-cita di tengah pusaran konflik etnis di Ethiopia, ketegangan geopolitik Sungai Nil, dan ketatnya pengawasan pemerintah pusat atas kawasan-kawasan kaya sumber daya. Benishangul tetap menunggu waktu yang tepat untuk merebut kembali panggung sejarahnya.

spacer

Merangkul Perbedaan, Menyatukan Yaman yang Terpecah

Ketegangan di wilayah utara Yaman kembali memuncak dengan kematian Sheikh Saleh Ahmed Hantous, seorang imam dan pengajar Al-Qur’an yang dikenal moderat. Ia menjadi korban serangan milisi Houthi di provinsi Raymah, kawasan yang berdekatan dengan Amran dan merupakan pusat kekuasaan kelompok Syiah Zaydi tersebut. Sheikh Hantous selama puluhan tahun membina komunitasnya melalui pendidikan agama, menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan sektarian yang dipaksakan oleh milisi Houthi.

Serangan yang terjadi pada Juli 2025 itu tidak hanya menimbulkan luka fisik bagi sang imam dan keluarganya, tetapi juga menyulut kemarahan di kalangan masyarakat dan komunitas internasional. Upaya evakuasi yang terhambat oleh pengawalan ketat milisi membuat kondisi semakin genting. Ambulans dilarang memasuki lokasi, menambah penderitaan korban. Pemerintah Yaman di Aden mengecam insiden tersebut dan menuduh Houthi menekan secara sistematis tokoh agama Sunni yang dianggap menentang dominasi mereka.

Sikap Sheikh Hantous yang tetap menjalankan pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan kalender pemerintah Aden menjadi salah satu alasan utama konflik. Hal ini memicu gesekan dengan otoritas Houthi yang bermazhab Syiah Zaydi, yang memiliki interpretasi keagamaan berbeda. Sheikh Hantous adalah simbol moderasi dan kebebasan beragama yang menjadi tantangan bagi agenda pemerintahan Houthi.

Wilayah Amran dan Raymah merupakan medan perebutan pengaruh yang melibatkan suku Hashid dan Bakil, dua konfederasi suku terbesar di Yaman utara, serta partai politik seperti Al-Islah yang kuat di kalangan Sunni. Meskipun Al-Islah secara resmi menentang Houthi, beberapa anggota partai pernah melakukan negosiasi pragmatis dengan milisi untuk menjaga keamanan lokal. Namun demikian, konflik yang terjadi lebih didasarkan pada pertarungan ideologi dan kekuasaan daripada sekadar persaingan suku.

Dinamika sektarian ini mirip walauntak sama dengan konflik yang pernah terjadi di Irlandia Utara antara komunitas Protestan dan Katolik. Kedua konflik tersebut sama-sama mengandung unsur identitas keagamaan dan politik yang saling bertentangan, memicu kekerasan yang berkepanjangan. Di Irlandia Utara, konflik berkepanjangan yang dikenal sebagai "The Troubles" berlangsung selama puluhan tahun, didorong oleh perbedaan agama (Protestan vs Katolik) dan keinginan politik yang berbeda terkait masa depan wilayah tersebut.

Sama halnya di Yaman, konflik sektarian di Irlandia Utara tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang penindasan, ketidaksetaraan, dan politik identitas. Upaya rekonsiliasi dan perdamaian memakan waktu bertahun-tahun dengan melibatkan negosiasi yang rumit, kesepakatan politik, dan penghormatan atas keberagaman identitas. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi Yaman untuk menghindari jatuh ke dalam lingkaran kekerasan sektarian yang berkepanjangan.

Dalam kasus Yaman, pemerintah Houthi di Sana’a dihadapkan pada pilihan untuk membuka ruang rekonsiliasi dan dialog inklusif. Merangkul oposisi politik, komunitas Sunni, serta suku-suku besar sangat penting untuk menciptakan suasana kondusif dan stabil. Memaksakan satu aliran mazhab tunggal hanya akan memperdalam perpecahan dan memperpanjang konflik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Partai Al-Islah, meskipun menentang ideologi Houthi, memainkan peran penting dalam dinamika politik Yaman utara. Beberapa anggotanya pernah berupaya melakukan negosiasi dengan Houthi demi kelangsungan pengaruh lokal. Namun secara keseluruhan, konflik di Yaman adalah pertarungan ideologi partai dan kekuasaan yang rumit dan tidak semata-mata pertikaian antar suku.

Suku Hashid dan Bakil juga tetap menjadi aktor penting dalam proses perdamaian. Kedua konfederasi ini memiliki jaringan luas dan kapasitas mobilisasi yang signifikan. Kerjasama yang baik dengan suku-suku ini menjadi kunci dalam menciptakan stabilitas di kawasan tersebut.

Berbeda dengan Irlandia Utara yang berhasil mencapai kesepakatan damai melalui Perjanjian Jumat Agung (Good Friday Agreement) pada 1998, Yaman masih berjuang mencari jalur perdamaian yang efektif. Pengalaman Irlandia menunjukkan bahwa toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan dialog terbuka merupakan kunci utama dalam mengakhiri konflik sektarian.

Kematian Sheikh Hantous menjadi peringatan keras bagi pemerintah de facto di Sana’a bahwa kekerasan terhadap tokoh agama hanya akan merusak citra dan memperdalam perpecahan. Jika konflik sektarian terus dibiarkan tanpa penyelesaian, dampaknya akan meluas ke wilayah lain dan memperpanjang penderitaan rakyat.

Komunitas Sunni di Yaman utara, meskipun kini berada di bawah tekanan, memiliki akar budaya dan sosial yang kuat dan mayoritas secara keseluruhan. Tekanan dan kekerasan yang mereka alami berpotensi memicu perlawanan yang lebih besar di masa depan jika tidak direspons dengan cara yang inklusif dan damai.

Pemerintah di Aden pun mulai memanfaatkan momentum ini untuk menggalang dukungan oposisi di wilayah utara. Narasi perlawanan terhadap dominasi Houthi semakin menggema, namun tanpa dialog dan rekonsiliasi yang tulus, upaya stabilisasi sulit terwujud.

Dunia internasional pun berperan penting dengan memberikan tekanan politik dan dukungan kemanusiaan, sembari mendorong semua pihak untuk menyelesaikan konflik melalui jalur damai. Bantuan kemanusiaan harus disertai dengan langkah konkret menuju rekonsiliasi nasional.

Yaman membutuhkan pemimpin dan kebijakan yang mampu menghargai keberagaman dan merangkul perbedaan. Tanpa pendekatan ini, konflik sektarian akan terus berlanjut, melukai generasi yang akan datang.

Rekonsiliasi dan dialog nasional adalah langkah yang harus diprioritaskan oleh semua pihak. Kepentingan rakyat harus menjadi fokus utama dalam mencari solusi yang berkelanjutan.

Kondisi politik yang kompleks di Yaman menuntut sikap pragmatis dari pemerintah Houthi. Merangkul semua pihak, termasuk oposisi dan komunitas agama minoritas, akan membuka jalan bagi perdamaian yang lebih kokoh.

Hanya dengan inklusivitas dan penghormatan terhadap pluralitas, Yaman dapat keluar dari konflik sektarian dan membangun masa depan yang damai dan stabil.

Tragedi Sheikh Hantous adalah pengingat bahwa kekuasaan tanpa toleransi hanya akan melahirkan perlawanan. Yaman harus belajar dari pengalaman internasional seperti Irlandia Utara agar tidak terperangkap dalam lingkaran kekerasan yang tiada akhir.

spacer

Belajar dari Sejarah Dualisme Pemerintahan


Libya saat ini tengah berada dalam posisi pelik, di mana dua pemerintahan berdiri di atas satu negara dengan kekuasaan yang terbagi tidak merata. Di Tripoli, pemerintahan yang diakui PBB dan negara Barat berkuasa secara administratif dan simbolik, sementara di Benghazi, pemerintahan saingan yang dipimpin House of Representatives bersama milisi Khalifa Haftar mengendalikan wilayah timur yang kaya minyak. Kondisi ini menciptakan situasi ekonomi dan politik yang rapuh, dengan ancaman perpecahan selalu mengintai di setiap keputusan penting.

Fenomena dua pemerintahan di satu wilayah bukan hal baru dalam sejarah politik dunia. Pada abad ke-18, di India era kolonial Inggris, dikenal sistem Dual Government di Bengal antara 1765 hingga 1772. Ketika itu, East India Company memegang kekuasaan penuh atas pemungutan pajak (Diwani), sementara Nawab Bengal hanya bertugas menjaga ketertiban dan hukum (Nizamat). Pengaturan ini memungkinkan Inggris menikmati hasil ekonomi tanpa harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, yang berujung pada bencana kelaparan dan kekacauan administratif.

Sejarah Nusantara pun mengenal model serupa di Kesultanan Barus, Sumatra. Selama dua abad, Barus diperintah oleh dua keluarga bangsawan, yaitu pihak Hilir dan Hulu. Kedua dinasti ini bergantian atau saling mengungguli satu sama lain dalam mengelola kekuasaan atas Barus. Meski kerap diwarnai ketegangan dan perebutan pengaruh, sistem ini nyatanya berhasil menjaga eksistensi Barus di tengah gempuran kerajaan-kerajaan lain dan persaingan dagang internasional.

Dari ketiga contoh itu, dapat ditarik pelajaran bahwa dualisme pemerintahan memiliki sisi positif dan negatif yang sangat tergantung pada pola pengelolaan kekuasaan serta kemauan politik elite-elite di dalamnya. Positifnya, dualisme dapat menciptakan keseimbangan kekuatan yang mencegah lahirnya kediktatoran mutlak. Ia juga bisa menjadi jalan kompromi politik di tengah situasi konflik yang belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Namun di sisi lain, dualisme sering kali melahirkan ketidakjelasan kebijakan, birokrasi yang tumpang tindih, serta rawan dijadikan alat perebutan dana dan pengaruh oleh elit-elit politik. Seperti di Bengal, ketidakseimbangan kontrol menyebabkan kehancuran ekonomi rakyat. Begitu pula di Libya, tarik-menarik pengelolaan dana minyak yang disimpan di Bank Sentral Tripoli memicu ketegangan dengan Benghazi yang merasa wilayah produksinya tidak mendapatkan pembagian adil.

Libya saat ini menghadapi dilema serupa. Pemerintahan di Tripoli mengklaim legitimasi internasional, sementara Benghazi menguasai ladang-ladang minyak utama yang menopang ekonomi negara. Perebutan kendali atas bank sentral dan dana hasil ekspor minyak menjadi inti konflik, dengan masing-masing pihak khawatir jika lawan politiknya menguasai penuh sumber daya ekonomi.

Belajar dari Barus, model dua pemerintahan bisa dipertahankan dengan syarat adanya aturan rotasi atau pembagian kewenangan yang jelas dan disepakati kedua belah pihak. Di Barus, meski dua dinasti kerap bersaing, mereka tetap menjaga aturan main yang mencegah salah satu pihak menguasai penuh istana dalam waktu lama. Mekanisme seperti ini bisa dipertimbangkan di Libya agar konflik tidak terus membara.

Libya juga bisa mencermati kegagalan Bengal, di mana satu pihak memegang kendali ekonomi sementara pihak lain hanya simbolik. Jika Tripoli terus memonopoli distribusi pendapatan minyak tanpa kesepakatan transparan dengan Benghazi, ketegangan politik pasti berlanjut dan ekonomi Libya sulit stabil. Transparansi pembagian hasil dan pembentukan lembaga bersama seperti dewan pengelola pendapatan bisa menjadi solusi.

Bahaya terbesar dari dualisme pemerintahan adalah potensi negara pecah secara de facto. Jika konflik Libya dibiarkan tanpa kerangka penyatuan, bisa saja Cyrenaica di timur dan Tripolitania di barat berkembang menjadi dua negara berbeda, seperti yang terjadi di Korea atau situasi ambigu antara Tiongkok dan Taiwan. Libya perlu belajar dari sejarah bahwa membelah negara hanya akan menambah luka berkepanjangan.

Di sisi lain, pengalaman Barus menunjukkan dualisme bisa dipertahankan asal kedua belah pihak menyadari bahwa kelangsungan negara lebih penting daripada ambisi kelompok. Ketegangan politik dapat dikelola melalui pembagian peran dan rotasi kekuasaan dengan tetap menjaga integritas wilayah dan kerangka hukum bersama. Kuncinya ada di kemauan elite untuk duduk bersama merumuskan aturan main jangka panjang.

Libya pun harus menghindari jebakan seperti Bengal, di mana ketimpangan kontrol justru mempercepat keruntuhan. Jika dua pemerintahan Libya tidak segera menyepakati kerangka kerja keuangan, ekonomi rakyat akan menjadi korban pertama. Kegagalan membayar gaji pegawai negeri, layanan kesehatan, dan subsidi bahan pokok akan memicu gelombang protes sosial yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Upaya terbaru menunjuk gubernur bank sentral bersama patut diapresiasi sebagai langkah awal. Namun, kesepakatan ini harus dilanjutkan dengan pembentukan dewan bersama pengelola hasil minyak dan mekanisme audit terbuka. Pembagian anggaran dan proyek pembangunan harus didesain adil untuk seluruh wilayah tanpa diskriminasi politik.

Libya bisa pula mengambil pelajaran dari masa depan Barus, yang pada akhirnya mengalami kemunduran setelah kedua dinasti gagal mempertahankan kompromi kekuasaan. Ketika satu dinasti mulai memonopoli pengaruh, konflik tak terelakkan dan Barus kehilangan peran strategisnya di jalur perdagangan internasional.

Situasi Libya yang kaya minyak sekaligus rawan konflik menjadikannya negara yang paling membutuhkan rekonsiliasi elite. Kedua belah pihak harus menyadari bahwa perebutan dana dan pengaruh semata hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat serta menghambat pembangunan pasca-perang yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.

Jika Libya mampu menyusun mekanisme dualisme kekuasaan berbasis kesepakatan adil, transparan, dan rotasi wewenang, bukan tidak mungkin negara ini bisa menjadi contoh negara pasca-konflik yang berhasil keluar dari jerat perang saudara. Sejarah menunjukkan dualisme bukan akhir, tapi bisa menjadi jembatan menuju rekonsiliasi nasional.

spacer

Perbandingan Kesejahteraan Warga Kurdi di Berbagai Negara

Jakarta – Kawasan Timur Tengah dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, namun juga rentan terhadap konflik dan ketidakstabilan politik. 

Kondisi ini berdampak signifikan pada perekonomian negara-negara di kawasan tersebut, termasuk PDB per kapita.
Mari kita bandingkan PDB per kapita di beberapa negara dan wilayah di kawasan ini:

 * Irak:

   * PDB per kapita Irak pada tahun 2023 tercatat sebesar 4.175,70 dolar AS.
   * Ekonomi Irak sangat bergantung pada sektor minyak, yang rentan terhadap fluktuasi harga global.
   * Konflik dan ketidakstabilan politik telah menghambat pertumbuhan ekonomi Irak.
 * Kurdistan (Irak Utara):
   * PDB per kapita di wilayah otonom Kurdistan tercatat lebih tinggi, yaitu 12711.06 dolar AS pada tahun 2023.
   * Kurdistan juga memiliki sumber daya minyak, tetapi telah berupaya mendiversifikasi ekonomi.
   * Stabilitas politik yang relatif lebih baik dan investasi asing yang lebih besar menjadi faktor pendukung.

 * Suriah:

   * Konflik berkepanjangan di Suriah telah menghancurkan ekonominya.
   * Data PDB per kapita Suriah sulit diperoleh karena situasi yang tidak stabil, tetapi diperkirakan sangat rendah.
   * Wilayah yang dikuasai oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Kurdi juga mengalami kesulitan ekonomi akibat konflik dan ketidakstabilan.

 * Iran:

   * Ekonomi Iran juga menghadapi tantangan akibat sanksi internasional dan ketidakstabilan politik.
   * Data PDB per kapita Iran bervariasi tergantung pada sumbernya, tetapi diperkirakan berada di kisaran 3000-4000 dolar AS.
   * Wilayah Kurdi di Iran juga mengalami kesulitan ekonomi akibat kurangnya investasi dan ketegangan politik.

 * Turki:

   * Turki memiliki ekonomi yang lebih terdiversifikasi dibandingkan negara-negara lain di kawasan ini.
   * PDB per kapita Turki diperkirakan berada di kisaran 10.000 dolar AS.
   * Wilayah Kurdi di Turki, terutama di bagian tenggara, mengalami kesulitan ekonomi akibat konflik dan kurangnya investasi.

Analisis:

 * Perbedaan PDB per kapita di kawasan ini mencerminkan dampak konflik, ketidakstabilan politik, dan ketergantungan pada sektor minyak.
 * Wilayah-wilayah yang relatif lebih stabil dan mampu mendiversifikasi ekonomi cenderung memiliki PDB per kapita yang lebih tinggi.
 * Konflik bersenjata dan sanksi internasional telah menghambat pertumbuhan ekonomi di Suriah, Iran, dan wilayah-wilayah Kurdi di negara-negara tersebut.
 * Penting untuk diingat bahwa data ekonomi di wilayah konflik seringkali tidak lengkap atau tidak akurat, sehingga perbandingan ini bersifat perkiraan.
Kesimpulan:
 * Peningkatan stabilitas politik, diversifikasi ekonomi, dan investasi menjadi kunci untuk meningkatkan PDB per kapita di kawasan ini.
 * Kerja sama internasional dan upaya perdamaian juga diperlukan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.

Dibuat oleh AI
spacer

Media Eropa Bantah NATO Rekrut ISIS Perkuat Ukraina Lawan Rusia

Kalahnya Rusia di sebagian kota Kherson oleh pasukan Ukraina membuat sejumlah media yang mendukung Kremlin menghembuskan isu bahwa kemungkinan  negara Eropa dan AS khususnya yang gabung NATO merekrut pasukan ISIS untuk mengalahkan Rusia. (Baca)

Namun sebuah media anti disinformasi Eropa bernama euvsdisinfo.eu membantah hal itu dan menegaska bahwa Eropa dan AS merupakan pihak terdepan melawan ISIS.



Memang dalam kebijakan luar negeri yang diumumkan oleh Eropa dan AS mereka mempunyai kebijakan anti ISIS.

Namun apa yang dilakukan di belakang layar dalam bentuk operasi klandestin oleh lembaga intelijen masing-masing tidak ada yang tahu dan itu memang tidak dipublikasikan.


Namun untuk mencoba memahami berita ini adalah kemungkinan NATO merekrut anggota eks ISIS yang sudah dalam tahanan mereka atau yang masih berkeliaran.


Saat ini salah satu Kamp Pengungsi yang menampung eks ISIS adalah Kamp Al Hawl yang berada di wilayah pemerintahan SDC atau Qasad Kurdi di Suriah Timur. Kamp ini dilaporkan telah mulai dikosongkan secara bertahap. (Baca).

Pemerintahan Qasad ini didukung sepenuhnya oleh AS dkk. Bahkan pasukan 'relawan internasional' Qasad yang masuk dalam jajaran struktural SDF dan YPG banyak berasal dari Eropa dan kini bergabung dengan pasukan Ukraina.


Organisasi utama YPG Suriah dilaporkan juga terpecah dalam isu Ukraina. Meski banyak relawannya bergabung dengan Ukraina, namun induk organisasi PKK yang masuk daftar teroris lebih memilih mendukung Rusia dan telah mengirimkan milisinya. (baca)

spacer

Konflik Antar NATO: Proses Pembuatan F-35 di Turki

ilustrasi
AS sepertinya akan melarang Turki menggunakan pesawat siluman F-35 walau kedua negara NATO tersebut sama-sama ikut membangun.

Begini dua berita berkaitan dengan kapal siluman ini:

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberi peringatan kepada Amerika Serikat ( AS) untuk tidak mengeluarkan mereka dari program jet tempur F-35. Berbicara dalam pameran pertahanan di Istanbul, Erdogan menyatakan program jet tempur generasi kelima itu bakal gagal jika AS menghalangi pengiriman.

Russian Today Selasa (30/4/2019), Erdogan menuduh Washington telah menjatuhkan keputusan yang sangat tidak adil sekaligus menekan Turki terkait kesepakatan F-35. AS telah menegaskan tidak akan mengirimkan jet tempur F-35 kecuali Turki membatalkan kesepakatan pembelian sistem pertahanan rudal S-400 dari Rusia.

Politisi AS berargumen bahwa membeli sistem rudal itu selain bisa mendapatkan sanksi, juga tidak sesuai dengan gaya pertahanan Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO). Erdogan menuturkan segala upaya yang dilakukan AS tidak akan diterimanya. "Saat ini, kami bersiap untuk membangun program jet tempur nasional," ujarnya.

"Proyek F-35 bakal kolaps jika tanpa bantuan Turki. Program itu bakal gagal jika Washington maish terus menghalangi pengiriman jet tempur yang dijanjikan ke kami," lanjutnya. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Mevut Cavusoglu menyatakan Turki bisa mencari teknologi pengganti jika AS tidak juga segera mengirimkan jet tempur itu. (sumber)

AS Bisa Produksi Jet Tempur F-35 Tanpa Bantuan Turki

Mengeluarkan Turki dari proyek mega triliunan dollar Amerika Serikat ( AS) jet tempur F-35 sulit, tetapi bukan mustahil. Pernyataan itu diungkapkan sumber dari pejabat AS yang mengetahui situasi itu, sebagaimana diberitakan Reuters Kamis (28/3/2019).

Pekan lalu, Reuters memberitakan Washington bisa membekukan persiapan pengiriman dua unit jet siluman generasi kelima itu ke Turki.

Rencana pembekuan itu terjadi setelah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersikeras membeli sistem pertahanan rudal S-400 dari Rusia. AS menentang rencana pembelian sistem pertahanan itu karena berpotensi mengancam keamanan jet tempur yang diproduksi pabrikan Lockheed Martin. Bersama negara NATO lainnya, AS khawatir Rusia bisa meminta data F-35 sebagai ganti pembelian S-400, dan membuat radar S-400 bisa melacak jet tempur itu.

AS sebenarnya sudah menawarkan kepada Turki sistem pertahanan Patriot dengan potongan harga yang bakal berakhir pada akhir Maret ini. Namun, Ankara dikabarkan membuang peluang itu dan tetap kukuh membeli S-400. Pejabat itu berkata, AS mulai mempertimbangkan mengeluarkan Turki dari proyek. (sumber)

spacer

Rumah Tahfidz Adzkia oleh Al-Hafizh Awaluddin Sihombing

Rumah Tahfidz Adzkia di Kampung Masjid Kualuh Hilir
Kampung Masjid di Kualuh Hilir Labuhan Batu Utara memiliki rumah tahfidz bernama Rumah Tahfidz Adzkia.

Rumah Tahfidz ini dibukan oleh Al-Hafizh Awaluddin Sihombing.

Lihat gambar di atas.

ilustrasi

spacer