Ketegangan di wilayah utara Yaman kembali memuncak dengan kematian Sheikh Saleh Ahmed Hantous, seorang imam dan pengajar Al-Qur’an yang dikenal moderat. Ia menjadi korban serangan milisi Houthi di provinsi Raymah, kawasan yang berdekatan dengan Amran dan merupakan pusat kekuasaan kelompok Syiah Zaydi tersebut. Sheikh Hantous selama puluhan tahun membina komunitasnya melalui pendidikan agama, menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan sektarian yang dipaksakan oleh milisi Houthi.
Serangan yang terjadi pada Juli 2025 itu tidak hanya menimbulkan luka fisik bagi sang imam dan keluarganya, tetapi juga menyulut kemarahan di kalangan masyarakat dan komunitas internasional. Upaya evakuasi yang terhambat oleh pengawalan ketat milisi membuat kondisi semakin genting. Ambulans dilarang memasuki lokasi, menambah penderitaan korban. Pemerintah Yaman di Aden mengecam insiden tersebut dan menuduh Houthi menekan secara sistematis tokoh agama Sunni yang dianggap menentang dominasi mereka.
Sikap Sheikh Hantous yang tetap menjalankan pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan kalender pemerintah Aden menjadi salah satu alasan utama konflik. Hal ini memicu gesekan dengan otoritas Houthi yang bermazhab Syiah Zaydi, yang memiliki interpretasi keagamaan berbeda. Sheikh Hantous adalah simbol moderasi dan kebebasan beragama yang menjadi tantangan bagi agenda pemerintahan Houthi.
Wilayah Amran dan Raymah merupakan medan perebutan pengaruh yang melibatkan suku Hashid dan Bakil, dua konfederasi suku terbesar di Yaman utara, serta partai politik seperti Al-Islah yang kuat di kalangan Sunni. Meskipun Al-Islah secara resmi menentang Houthi, beberapa anggota partai pernah melakukan negosiasi pragmatis dengan milisi untuk menjaga keamanan lokal. Namun demikian, konflik yang terjadi lebih didasarkan pada pertarungan ideologi dan kekuasaan daripada sekadar persaingan suku.
Dinamika sektarian ini mirip walauntak sama dengan konflik yang pernah terjadi di Irlandia Utara antara komunitas Protestan dan Katolik. Kedua konflik tersebut sama-sama mengandung unsur identitas keagamaan dan politik yang saling bertentangan, memicu kekerasan yang berkepanjangan. Di Irlandia Utara, konflik berkepanjangan yang dikenal sebagai "The Troubles" berlangsung selama puluhan tahun, didorong oleh perbedaan agama (Protestan vs Katolik) dan keinginan politik yang berbeda terkait masa depan wilayah tersebut.
Sama halnya di Yaman, konflik sektarian di Irlandia Utara tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang penindasan, ketidaksetaraan, dan politik identitas. Upaya rekonsiliasi dan perdamaian memakan waktu bertahun-tahun dengan melibatkan negosiasi yang rumit, kesepakatan politik, dan penghormatan atas keberagaman identitas. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi Yaman untuk menghindari jatuh ke dalam lingkaran kekerasan sektarian yang berkepanjangan.
Dalam kasus Yaman, pemerintah Houthi di Sana’a dihadapkan pada pilihan untuk membuka ruang rekonsiliasi dan dialog inklusif. Merangkul oposisi politik, komunitas Sunni, serta suku-suku besar sangat penting untuk menciptakan suasana kondusif dan stabil. Memaksakan satu aliran mazhab tunggal hanya akan memperdalam perpecahan dan memperpanjang konflik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Partai Al-Islah, meskipun menentang ideologi Houthi, memainkan peran penting dalam dinamika politik Yaman utara. Beberapa anggotanya pernah berupaya melakukan negosiasi dengan Houthi demi kelangsungan pengaruh lokal. Namun secara keseluruhan, konflik di Yaman adalah pertarungan ideologi partai dan kekuasaan yang rumit dan tidak semata-mata pertikaian antar suku.
Suku Hashid dan Bakil juga tetap menjadi aktor penting dalam proses perdamaian. Kedua konfederasi ini memiliki jaringan luas dan kapasitas mobilisasi yang signifikan. Kerjasama yang baik dengan suku-suku ini menjadi kunci dalam menciptakan stabilitas di kawasan tersebut.
Berbeda dengan Irlandia Utara yang berhasil mencapai kesepakatan damai melalui Perjanjian Jumat Agung (Good Friday Agreement) pada 1998, Yaman masih berjuang mencari jalur perdamaian yang efektif. Pengalaman Irlandia menunjukkan bahwa toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan dialog terbuka merupakan kunci utama dalam mengakhiri konflik sektarian.
Kematian Sheikh Hantous menjadi peringatan keras bagi pemerintah de facto di Sana’a bahwa kekerasan terhadap tokoh agama hanya akan merusak citra dan memperdalam perpecahan. Jika konflik sektarian terus dibiarkan tanpa penyelesaian, dampaknya akan meluas ke wilayah lain dan memperpanjang penderitaan rakyat.
Komunitas Sunni di Yaman utara, meskipun kini berada di bawah tekanan, memiliki akar budaya dan sosial yang kuat dan mayoritas secara keseluruhan. Tekanan dan kekerasan yang mereka alami berpotensi memicu perlawanan yang lebih besar di masa depan jika tidak direspons dengan cara yang inklusif dan damai.
Pemerintah di Aden pun mulai memanfaatkan momentum ini untuk menggalang dukungan oposisi di wilayah utara. Narasi perlawanan terhadap dominasi Houthi semakin menggema, namun tanpa dialog dan rekonsiliasi yang tulus, upaya stabilisasi sulit terwujud.
Dunia internasional pun berperan penting dengan memberikan tekanan politik dan dukungan kemanusiaan, sembari mendorong semua pihak untuk menyelesaikan konflik melalui jalur damai. Bantuan kemanusiaan harus disertai dengan langkah konkret menuju rekonsiliasi nasional.
Yaman membutuhkan pemimpin dan kebijakan yang mampu menghargai keberagaman dan merangkul perbedaan. Tanpa pendekatan ini, konflik sektarian akan terus berlanjut, melukai generasi yang akan datang.
Rekonsiliasi dan dialog nasional adalah langkah yang harus diprioritaskan oleh semua pihak. Kepentingan rakyat harus menjadi fokus utama dalam mencari solusi yang berkelanjutan.
Kondisi politik yang kompleks di Yaman menuntut sikap pragmatis dari pemerintah Houthi. Merangkul semua pihak, termasuk oposisi dan komunitas agama minoritas, akan membuka jalan bagi perdamaian yang lebih kokoh.
Hanya dengan inklusivitas dan penghormatan terhadap pluralitas, Yaman dapat keluar dari konflik sektarian dan membangun masa depan yang damai dan stabil.
Tragedi Sheikh Hantous adalah pengingat bahwa kekuasaan tanpa toleransi hanya akan melahirkan perlawanan. Yaman harus belajar dari pengalaman internasional seperti Irlandia Utara agar tidak terperangkap dalam lingkaran kekerasan yang tiada akhir.